leily ijolumut

leily ijolumut

Jumat, 28 Juni 2013

perbedaan antara sistem administrasi sebelum dan sesudah reformasi




PERBEDAAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI
SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI



Administrasi negara merupakan pilar penting dalam suatu negara. Begitu juga di negara Indonesia. Administrasi merupakan sebuah subsistem yang pokok dalam kehidupan sistem negara kita. Administrasi menjadi penanggunjawab dalam menjalankan peran birokratisasi di negara Indonesia. Lebih jauh lagi, administrasi negara merupakan media untuk menyalurkan sebuah kebijakan dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Masa revolusi, merupakan awal adanya administrasi di negara Indonesia yang memiliki kelemahan dalam kualitas dan efektifitas, terlebih adanya administrasi dalam masa revolusi masih dipengaruhi oleh perkembangan administrasi penjajahan. Masa orde lama diharapkan mampu memperbaiki sistem administrasi negara Indonesia namun masih juga terdapat kekurangan karena sistem pemrintahan yang terjadi saat itu dan kekuatan kalangan tertentu dalam pelaksanaan public policy.
            Administrasi negara mengalami perkembangan dalam hal konsep di masa orde baru namun sayangnya hal tersebut tidak diikuti oleh pelaksanaan yang baik. Hal tersebut akhirnya berakhir di masa reformasi dengan adanya perombakan dan perbaikan di berbagai sisi. Proses reformasi administrasi ini masih berlangsung hingga sekarang dan masih mencari model yang sesuai.
            Oleh karena itu, diperlukan perbaikan di berbagai bidang agar sistem administrasi masa depan Indonesia merupakan sistem administrasi yang efisien dan mampu melayani masyarakat. Berdasarkan beberapa penelitian menemukan bahwa sistem administrasi negara Indonesia masih memerlukan perbaikan karena banyak terjadi penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan koran Kompas, Selasa 16 Desember 2008 halaman 27 sistem administrasi Indonesia jelek sehingga menjadi sumber korupsi, khususnya sistem administrasi keuangan.
Terdapat berbagai peraturan perundangan yang memberikan celah adanya penyalahgunaan wewenang untuk korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Berdasarkan data dari KPU tahun 2007 kasus korupsi yang masuk tahap penyelidikan 68 kasus, tahap penyidikan 29 perkara, dan penuntutan 24 perkara. Indonesia masih berkutat dengan masalah penyakit birokrasi padahal tantangan ke depan sangat berat. Apalagi Indonesia masih tergolong tertinggal dari negara-negara lain. Oleh karena itu layaknya kita harus berlari mengejar kesempurnaan. Indonesia dituntut untuk menciptakan sebuah birokrasi yang efektif dan efisien

Hukum Administrasi Negara mempunyai kekuasaan untuk mewajibkan semua pihak mengimplementasikan prinsip Good Governance pada aktivitas administrasi Negara sehari-hari, memberikan sanksi dan memberikan kriteria-kriteria yang berkaitan dengan implementasi Good Governance bagi pejabat dan petugas administrasi Negara. Good Governance di dalam HAN sudah merupakan hak asasi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang prima dari pemerintah. Dengan demikian paradigma yang harus dipegang teguh adalah melayani masyarakat (to serve people).
Rancangan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan sebagai RUU Program Legislasi Nasional prioritas pada tahun 2007. RUU ini diharapkan dapat menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang cukup revolusioner dan menjadi instrument untuk menerapkan prinsip-prinsip Good Governance. RUU ini juga akan menjadi hukum materiil bagi Hukum Administrasi Negara di Indoneisia melengkapi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara (UU 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004) yang lebih dulu ada.
Hukum administrasi materiil terletak diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum pidana berisi norma-norma yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat sehingga penegakan norma-norma tersebut tidak diserahkan pada pihak partikelir tetapi harus dilakukan oleh penguasa. Hukum privat berisi norma-norma yang penegakannya dapat diserahkan kepada pihak partikelir. Diantara kedua bidang hukum itu terletak hukum administrasi. Setelah reformasi dipilih menjadi bagian dari bangsa Indonesia, ada beberapa Konsekwensi yang diterima oleh bangsa Indonesia atau beberapa perubahan yang Fundamental bagi bangsa Indonesia.
Pertama, Implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal Ini, dengan amandemen maka MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN dan produk perundangan lainnya kecuali dalam rangka pengangkatan presiden dan wakil presiden. Sebagai tindak lanjut dari amandemen tersebut, berdasarkan Undang-Undang No.10 tahun 2004, beberapa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.
Kedua, Amandemen menetapkan pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar, Panglima TNI dan Polisi yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.
Ketiga, Amandemen konstitusi juga telah mengembang biakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagaan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang tindih dalam kewenangannya. juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.
Keempat, Implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah kontestasi dalam peramuaan perundang-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial, Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntutan pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.
Kelima, Implikasi pada sistem adminstrasi pengawasan dan pertanggung jawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Setelah amandemen dinyatakan BPK memiliki perwakilan di setiap Provinsi. Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan.
Keenam, Implikasi pada siatem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih dalam pelayanan publik dan menyebabkan sejumlah paradok dalam pemerintahan dan pembangunan.
Dapat kita lihat, bagaimana keadaan bangsa Indonesia berubah sangat signifikan. Menurut Dr. Hj. Ni’matul Huda SH.,M.Hum didalam seminar Nasional yang di selenggarakan oleh HMI FH UII pada Mei 2009, Jika kita melihat dari segi Konstitusi, Konstitusi bangsa Indonesia berubah sebanyak 300%. Hasil ini bukanlah hal yang main-main, Konstitusi sebagai garda terdepan bangsa Indonesia berubah secara total. Untuk lebih menarik lagi, didalam makalah ini akan coba kami sajikan kasuistik perubahan HAN didalam pemerintahan desa.
Proses reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem kekuasaan yang ada dari otoritarianisme menuju demokrasi. Berbeda dengan masa Orde Baru yang menjalankan kekuasaan secara sentralistik-otoriter, era reformasi ditandai dengan digunakannya, dalam tingkat tertentu, prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi sebagai basis acuan bekerjanya kekuasaan. Pergeseran ini dapat dilihat dari pola hubungan antara pusat-daerah seperti yang termaktub dalam UU tentang Otonomi Daerah. Dengan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 daerah telah diberi keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Perubahan relasi itu bisa juga dilihat pada level desa, dimana upaya-upaya demokratisasi dan desentralisasi secara formal mulai dilaksanakan. Model sentralistik ala UU No. 5 Tahun 1979 yang dipakai sebagai alas yuridis Orde Baru untuk menata desa, dirombak secara mendasar. Regulasi yang baru telah membuka peluang bagi dikembangkannya otonomi yang dihambat secara luar biasa oleh Orde Baru. Pertanyaan yang kemudian muncul dengan hadirnya UU No. 22/1999 adalah apakah UU tersebut membuka ruang bagi pelaksanaan otonomi desa? ataukah sebaliknya, justru menjadi alat yuridis bagi negara untuk menjalankan proyek-proyeknya dalam bungkus yang lebih demokratis?

Tidak ada komentar: